Ketika ALLAH Hanya Menerima Ibadah Haji 6 Orang Dari 600 Ribu Jamaah #shorts #jamaahhaji

2 years ago
8

#SantriMangHajiNalim

Ali bimbang bukan kepalang. Hatinya gamang. Percakapan malaikat tersebut masih saja terngiang di kepalanya. “Kalau hanya 6 orang jamaah yang diterima, apakah aku termasuk di 6 orang tersebut?” dalam hati ia bertanya-tanya.

Ali kemudian bergerak meninggalkan Arafah dan singgah untuk melebur bersama lautan jamaah haji pada Masy’aril Haram yaitu Arafah, Mudzdalifah, dan Mina. Di tengah hamparan ratusan ribu manusia itu pikirannya terusik kembali. Ia mulai berpikir soal ketimpangan jumlah orang yang diterima dan ditolak hajinya.

Ali pun mengantuk lalu tertidur. Ia kembali menyaksikan dua malaikat yang disaksikannya kemarin turun dari langit. Ia mendengar persis keduanya mengulangi percakapan kemarin.

“Apakah kamu tahu apa keputusan Tuhan kita pada malam ini?”

“Tidak. Kenapa?”

“Allah memenuhi permintaan setiap orang dari 6 jamaah yang diterima hajinya untuk 100 ribu orang jamaah yang hajinya ditolak.”

Ali terjaga. Ia begitu gembira atas percakapan kedua malaikat dalam mimpinya. Ia bergembira karena 600.000 jamaah haji tahun itu kemudian diterima semua oleh Allah swt berkat doa 6 jamaah yang hajinya diterima.

Waktu pun berlalu. Ali bin Muwaffiq berkesempatan menunaikan ibadah haji pada suatu waktu. Setelah menyelesaikan rangkaian manasiknya, ia kemudian memikirkan nasib jamaah haji yang ditolak manasiknya.

Ali kemudian berdoa untuk mereka yang ibadah hajinya ditolak oleh Allah. “Wahai Tuhanku, kuserahkan hajiku dan pahalanya untuk jamaah haji yang Kautolak tahun ini.”

Allah kemudian menjawabnya saat kemudian ia tertidur. “Wahai Ali, kau bersikap pemurah pada-Ku.
Sedangkan Aku yang menciptakan kemurahan hati dan orang-orang pemurah itu. Aku zat paling pemurah.

Aku zat paling dermawan. Aku lebih berhak untuk bermurah hati dan berderma daripada sekalian alam.
Sungguh telah Kuterima jamaah haji yang seharusnya Kutolak berkat doa orang yang hajinya Kuterima,” jawab Allah dalam mimpinya.

* Kisah ini dikutip oleh Imam Abu Hamid Al-Ghazali, Kitab Ihya’ Ulumiddin, (Beirut, Darul Fikr: 2018 M/1439 H-1440 H), juz I, halaman 305-306. Wallahu a‘lam. (Alhafiz Kurniawan).

Loading comments...